Sejarah Desa

Mayoritas masyarakat yang tinggal di Long Uli adalah suku Dayak Uma’ Lung. Suku Uma’ Lung pada zaman dahulu bermukim di wilayah yang disebut Lasen Adui. Wilayah ini berada di dekat pemukiman Apau Napu. Pada saat bermukim di Lasen Adui, nenek moyang masih melakukan Ngayau dan Vebale untuk bertahan hidup. Ngayau merupakan perang yang dilakukan secara diam-diam. Bukti kemenangan Ngayau adalah kepala musuh yang berhasil dibawa pulang dan menjadi cinderamata bagi pemenang. Ketua adat desa saat ini mengaku masih menyaksikan kakek neneknya melakukan ritual “memberi makan” kepada kepala orang – orang yang mereka dapatkan ketika Ngayau ini. Sedangkan Vebale adalah perang yang dilakukan secara terang-terangan. Perang ini dilakukan untuk mempertahankan wilayah masing-masing suku serta menjaga kehormatan suku tersebut. Itu sebabnya wilayah pemukiman pertama suku Uma’ Lung adalah Lasen Adui yang berada di antara gunung-gunung. Tujuannya adalah menjaga kaum mereka dari serangan musuh.

  Setelah dari Lasen Adui, suku Uma’ Lung berpindah menuju hilir. Mereka membuat perkampungan di sekitar Sungai Lurah. Terdapat air terjun di sekitar pemukiman mereka saat itu yang bernama Uung Takung. Kemudian masih di sekitar sungai Lurah, nenek moyang berpindah lagi ke hilir. Tepatnya di daerah yang disebut Apan Tutung. Pemukiman berpindah lagi ke hilir menuju Long Lurah atau Kuala Lurah. Kemudian nenek moyang melakukan perpindahan pemukiman lagi ke hulu sungai Bahau, tepatnya di muara sungai Benato.

Ketika bermukim di Long Benato, terjadi wabah penyakit yang menyerang kalangan muda dan tua. Para orang tua yang menjadi saksi hidup menceritakan bahwa hampir seluruh warga mengalami gejala nyeri dahsyat di sekitar tulang rusuk hingga punggung. Mereka belum mengenal obat apapun pada saat itu. Tidak ada informasi mengenai obat lokal yang dikonsumsi mereka untuk mengobati rasa nyeri itu juga. Satu per satu warga meninggal dunia. Disebutkan bahwa dalam satu hari yang sama, dua hingga tiga orang meninggal dunia. Warga yang mengalami gejala tersebut bahkan mempersiapkan sendiri peti mati dan liang kuburnya. Warga yang masih sehat merasa perlu untuk segera pindah perkampungan untuk bertahan hidup dan tidak tertular wabah tersebut. Akhirnya mereka mengungsi ke rumah ladang yang berada di hilir sungai Bahau, tepatnya di sungai Uli. Dalam bahasa lokal, Uli berarti wilayah yang dilewati untuk pulang – pergi. Orang Uma’ Lung percaya bahwa pemukiman tempat mereka tinggal harus berada di kanan mudik sungai, tidak bisa di kiri mudik. Mereka percaya bahwa kanan lebih kuat sedangkan kiri itu lemah. Kampung Long Uli saat ini pun berada di kanan mudik sungai Bahau. Masyarakat Long Benato berpindah ke pemukiman Long Uli saat ini pada tahun 1957. Pada saat perpindahan, terdapat 62 KK yang bermukim di Long Uli. Kepala desa pertama yang memimpin adalah Ngang Ding. Hingga profil desa ini disusun, terdapat 52 KK yang mendiami di Long Uli.

Pada masa endemi di Long Benato tersebut, beberapa warga memilih pindah ke Batu Kajang. Kemudian ada juga yang pindah setelah bermukim di kampung Long Uli yang sekarang. Perjalanan dari Long Uli ke Batu Kajang ditempuh dengan berjalan kaki. Penduduk yang pindah dari Long Uli ke Batu Kajang diperkirakan sekitar tahun 1972. Salah satu alasan yang mendasari perpindahan sebagian penduduk karena perbedaan visi.

Adapun Kepala Desa yang pernah menjabat di Desa Long Uli yakni :

1. Aran Imung (Pada Masa Soeharto, selama 32 tahun)

2. Septem Bawe (2005-2009)

3. Lian Serau (2009-2011)

4. Lian Serau (2011-2015)

5. Septem Bawe (2015-2019)

6. Apui Lidem (2019-2023)

7. Sapril Liling (2023-Sekarang)

Bagikan post ini: